Review Film “The Intern”

The_Intern_Poster

Film drama komedi The Intern menjadi penyemarak bioskop pekan ini. Sayangnya, tidak semua bioskop ‘berani’ ambil resiko menayangkan film berdurasi 120 menit ini. Di Cinema XXI misalnya, hanya beberapa bioskop dengan sasaran kelas menengah atas yang bersedia menayangkan film ini. Maklumlah, jalan cerita film yang dibintangi Robert De Niro dan Anne Hathaway ini memang agak eksklusif. XXI harus jeli melihat pangsa pasar yang pas menikmati film ini. Dengan keterbatasan bioskop, alhasil penonton yang ingin menyaksikan dua idola mereka ini berakting harus datang lebih awal saat memesan tiket.

Dua kali saya datang ke bioskop Cinema XXI di Kelapa Gading Jakarta Utara dan St Moritz Jakarta Barat, dua teater itu sudah dipenuhi oleh penonton. Tentu saja saya gagal mendapatkan tempat duduk strategis karena memesan 30 menit sebelum tayang. Namun, tidak menyesal karena film drama dan komedi yang akrab dengan keseharian kita ini mampu membuat saya dan penonton lainnya tersenyum, tertawa, menertawakan diri sendiri mungkin. Yang dimaksud kita, dalam arti, para pekerja di kota metropolis.

Film garapan Nancy Meyers yang baru rilis 25 September 2015 ini bercerita tentang sosok Ben Whitaker (Robert De Niro) yang memasuki masa pensiun setelah bekerja lebih dari 40 tahun di sebuah perusahaan pencetak buku telepon. Ben agaknya kesepian, apalagi setelah istrinya meninggal tiga tahun lalu. Melayat ke pemakaman rekan-rekannya, travelling, dan menimang cucu seolah menjadi rutinitas hampa tanpa tujuan. Sampai akhirnya, Ben menemukan selebaran yang tertempel di papan jalanan tentang lowongan menjadi pemagang senior (The Intern). Lowongan tersebut mensyaratkan pemagang berusia di atas 65 tahun.

Ben merasa tidak perlu khawatir apalagi takut ketika mendapati perusahaan tersebut, About The Fit, merupakan perusahaan e-commerce (perdagangan elektronik) pakaian. About The Fit yang didirikan oleh Jules Ostin (Anne Hathaway) 18 bulan lalu ini berhasil menarik banyak pelanggan dari seluruh negara bagian AS. Hingga mempekerjakan dari awalnya 25 pekerja menjadi 220 pekerja anak muda.

Ketika akhirnya Ben diterima menjadi pemagang dan langsung bekerja di bawah Jules, banyak hal yang harus dipahami. Mulai dari suasana, piranti yang digunakan, dan semangat kerja yang pastinya berbeda dengan zamannya. Yang menarik ketika Ben mengeluarkan peralatan elektroniknya di meja kerja seperti kalkulator, jam meja, telepon seluler jadul, yang justru mendapat pandangan aneh dari anak muda di sampingnya.

Jules sendiri terkenal pekerja keras, workaholic, profesional, tetapi juga bos yang menempatkan diri tanpa sekat dengan karyawannya. Ini terlihat dari bagaimana Jules menata kantornya, tiap ruang dipisahkan sekat kaca transparan, duduk bersamaan dengan karyawannya, naik sepeda di dalam kantor, memberi tanda lonceng untuk setiap apresiasi karyawan, hingga turun ke lapangan dan mengajarkan karyawannya langsung bagaimana mengemas pesanan. Suatu hal yang jarang dilakukan oleh seorang bos perusahaan yang sedang naik daun.

Ben melihat sendiri bagaimana Jules, anak muda yang bertanggungjawab dengan 220 karyawan itu bekerja tanpa henti. Ben semakin mengetahui ritme kehidupan Jules dan perusahaannya kala ia menggantikan sopir Jules yang menghilang. Ben menjadi dekat dengan Paige, putri semata wayang pasangan Jules dan Matt (Anders Holm). Bahkan menyelami kehidupan pribadi Jules, suami, dan orangtuanya.

Meski banyak bekerja dalam diam, Ben pernah memberi masukan kepada tim Jules, walau sarannya tidak begitu diindahkan karena mungkin dinilai terlalu usang. Ben yang begitu “mengamati” pernah dianggap terlalu mengganggu bagi Jules. Ben dan Jules kemudian menjadi dekat setelah Jules membantu membuatkan akun Facebook Ben, dan mengungkapkan problematika rumahtangga saat keduanya melakukan perjalanan bisnis bersama.

Di balik kisah pekerjaan, rumah tangga, rekan kerja, dan bisnis. Ada juga cerita romansa bangkitnya kehidupan cinta Ben setelah bertemu dengan Fiona (Rene Russo), tukang pijat/terapis di perusahaan Jules. Namun demikian, Ben tetap ‘setia’ dan memuja istrinya, Molly.

Cerita dalam film ini sangat gampang dicerna karena akrab dengan keseharian kita. Entah bagaimana penulis skenario mampu menyamakan ceritanya sehingga bisa diterima oleh penonton metropolis dari negara manapun. Bahkan penonton di Indonesia pun mampu tergelak melihat adegan film yang nyatanya hampir sama dengan kondisi sehari-hari.

Selain itu, akting Hathaway memang tidak bisa dipungkiri begitu mengena dan menyelami kehidupan Jules. Penonton bisa terbawa emosi, ikut merasakan kehidupan Jules di kantor dan di rumah. Jalan cerita sangat mudah dicerna. Penonton pun tidak menyangka bahwa para pensiunan di Negara Dunia Pertama pun mengalami dilema yang sama dengan pensiunan di negara lain. Pun termasuk ritme kerja anak muda saat ini yang cenderung cepat dan dinamis.

Sementara kelemahan film ini seperti yang sudah saya tulis di atas, Ben terlalu banyak diam dan mengamati. Sosok Ben kurang ditunjukkan sebagai ‘solusi’ sebagaimana endorsement dalam film ini “Experience Never Gets Old”. Ben seolah hanya berperan sebagai teman curhat Jules. Namun secara keseluruhan, film ini cukuplah mendapat tujuh dari sepuluh bintang. Cukup berkualitas sebagai film yang menggambarkan suasana pertengahan tahun 2015, menghibur karena lekat dengan keseharian kita, dan tentunya akting memukau De Niro dan Hathaway.

filumena21@yahoo.com
hobi nonton film di bioskop saban weekend

Tinggalkan komentar